Radio di Era TikTok: Bertahan atau Bertransformasi?


Oleh Alya Martha (Mahasiswa Sains Komunikasi Univeritas Djuanda)

“Masihkah orang mendengarkan radio di era video pendek?” Pertanyaan itu menghantui banyak ruang redaksi. Kita hidup dalam ekonomi perhatian. Algoritma menentukan apa yang muncul di gawai, bukan redaktur. Namun, di balik arus cepat gimick digital, radio memegang satu kartu truf yang sering dilupakan: kedekatan. Suara yang akrab. Lokalitas yang nyata. Dialog yang terjadi saat ini juga. Persoalannya bukan apakah radio kalah oleh media baru, melainkan apakah radio bersedia berubah dan menyatu dengan ekosistem digital yang kini membentuk kebiasaan audiens.

Pertama, masalah utama radio hari ini bukan sekadar persaingan platform, melainkan perubahan perilaku. Generasi muda ingin konten yang singkat, relevan, dan bisa diakses kapan saja. Siaran linier tak lagi cukup. Jika radio memaksa audiens mengikuti jadwalnya, audiens akan berpindah. Di sini, logika “Masalah → Analisis → Solusi” menjadi jelas. Masalahnya: waktu audiens terpencar, perangkat beragam, dan perhatian terpecah. Analisisnya: radio unggul pada real-time, keakraban, dan kredibilitas lokal, tetapi lemah pada kemudahan diakses ulang. Solusinya: ubah siaran menjadi paket multiplatform. Siaran tetap berlangsung, tetapi setiap segmen penting dipotong menjadi klip pendek, diunggah sebagai podcast, dan dipromosikan lewat video singkat di media sosial. Dengan cara ini, satu jam siaran bisa “hidup” berhari-hari di berbagai kanal.
Kedua, radio harus mengubah cara memikirkan produksi.

Dulu, naskah selesai setelah on-air. Kini, naskah justru “mulai” bekerja setelah on-air. Dibutuhkan content pipeline yang rapi: riset topik dan bullet points sebelum siaran; eksekusi siaran interaktif dengan call to action jelas; paska-siaran, pilih kutipan kuat dan momen terbaik untuk diunggah; lalu lakukan aftercare di media sosial—jawab komentar, adakan polling, dan umumkan tindak lanjut. Pendengar harus merasa percakapan tidak berhenti di studio. Strategi ini sejalan dengan prinsip komunikasi lintas kanal: semakin banyak saluran dipakai secara konsisten, semakin kuat relasi dengan audiens. Radio tidak kehilangan jati diri; ia memperluas jangkauan tanpa melepaskan nilai lokal.

Ketiga, konten adalah ujung tombak. Tetapi bentuknya mesti disesuaikan. Di udara, penyiar kuat pada storytelling dan spontanitas. Di media baru, perlu format yang ringkas dan visual. Keduanya bisa dijembatani. Misalnya, rubrik “Komunitas Pekan Ini” yang menghadirkan pelaku UMKM atau inisiatif anak muda. Di siaran, sajikan percakapan hangat. Di media sosial, unggah teaser 30–60 detik berisi insight utama. Di podcast, unggah versi utuh agar bisa didengar ulang. Siklusnya jelas: isu lokal → siaran langsung → klip pendek → ajakan aksi (mengunjungi bazar, ikut pelatihan, berdonasi, atau sekadar memberikan opini). Dengan begitu, radio menjadi simpul informasi yang memicu aksi, bukan hanya kanal yang mengabarkan.

Keempat, kita perlu mengukur hal yang benar. Rating penting, tetapi bukan satu-satunya tolok ukur. Di ekosistem media baru, engagement dan dampak komunitas sama krusialnya. Ukurlah pertanyaan yang memicu diskusi, kolaborasi yang lahir dari siaran, jumlah komunitas yang terlibat, hingga acara offline yang terwujud. Radio bertahan karena berguna. Dan kegunaan bisa dilacak melalui tindak lanjut yang terjadi di luar studio. Perlu pula disiplin kuratorial: kurangi monolog panjang, perbanyak micro-segments dua hingga empat menit yang padat makna. Segmen yang rapih memudahkan pemotongan ulang untuk platform lain. Pada saat yang sama, jaga etika: verifikasi informasi, beri konteks, dan hindari sensasi yang mengorbankan akurasi. Kredibilitas adalah modal utama yang tidak boleh ditukar dengan klik sesaat.

Kelima, transformasi membutuhkan orang, bukan hanya alat. Penyiar perlu dilatih menjadi host lintas platform: nyaman berbicara di mikrofon, lincah di kamera, dan tangkas di kolom komentar. Tim produksi perlu kemampuan dasar editing audio-video, penulisan caption yang efektif, dan membaca analitik sederhana. Kolaborasi dengan kampus, komunitas, dan creator lokal menjadi strategi cerdas untuk memperkaya konten dan memperluas jejaring. Radio yang membuka diri terhadap co-creation akan selalu punya bahan segar. Pada akhirnya, teknologi hanyalah pengungkit; manusialah yang menentukan arah.

Sikap saya tegas: radio tidak sedang mati—radio sedang diuji. Ia akan kalah jika bertahan sebagai monumen. Ia akan menang jika bertransformasi menjadi ekosistem konten yang hidup di banyak kanal, tetap berakar pada kedekatan lokal, dan konsisten menjaga etika. Mulailah dari yang sederhana: rapikan pipeline produksi, pecah siaran menjadi klip pendek, dan rawat dialog di media sosial. Jadwalkan satu rubrik komunitas per pekan, ukur dampak nyata, dan rayakan kolaborasi. Saat suara yang hangat bertemu strategi digital yang cerdas, radio bukan hanya relevan—radio kembali menjadi pusat percakapan kota.