Oleh: [Aisyawara Tri Auliyah, Mahasiswi Administrasi Publik, Universitas Djuanda]
Perubahan aturan jam masuk kerja di kantor kecamatan menjadi pukul 07.30 pagi menghadirkan banyak harapan. Sepintas, kebijakan ini tampak sederhana: pegawai datang lebih awal, pelayanan bisa dimulai lebih cepat. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah cukup hanya dengan mempercepat waktu masuk untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik?
Di lapangan, perubahan ini memang membawa dampak positif. Sebagian aparatur mulai beradaptasi, kantor terlihat lebih cepat ramai, dan masyarakat dapat dilayani sejak pagi. Beberapa warga bahkan mengaku terbantu karena tidak perlu menunggu hingga siang untuk mengurus dokumen. Disiplin waktu terbukti memberi nilai tambah dalam pelayanan.
Namun, persoalan pelayanan publik jauh lebih kompleks daripada sekadar soal jam kerja. Masih ada warga yang mengeluhkan minimnya informasi digital, sehingga harus datang langsung hanya untuk menanyakan prosedur. Tidak sedikit pula aparatur yang masih mengikuti pola lama, sehingga pelayanan baru benar-benar aktif setelah pukul delapan. Kondisi ini membuat layanan terasa tidak konsisten.
Keterangan: ASN berpose siap melayani
Masyarakat kini hidup di era serba cepat. Mereka terbiasa dengan layanan digital yang praktis dan bisa diakses dari rumah. Jika kantor kecamatan hanya menambah jam masuk tanpa memperbaiki sistem informasi dan komunikasi, maka manfaat kebijakan ini tidak akan terasa signifikan. Antrean panjang, prosedur yang berbelit, dan minimnya kejelasan tetap akan menjadi keluhan utama warga.
Pelayanan publik sejatinya adalah soal kepercayaan. Pegawai yang hadir tepat waktu memang penting, tetapi lebih penting lagi bagaimana mereka memperlakukan masyarakat. Senyum, sikap ramah, dan penjelasan yang sederhana sering kali lebih bermakna dibandingkan sekadar membuka kantor lebih pagi.
Oleh karena itu, aturan masuk kerja pukul 07.30 seharusnya dijadikan momentum untuk membangun budaya kerja baru. Disiplin waktu perlu diiringi dengan disiplin pelayanan. Aparatur perlu dibekali keterampilan komunikasi yang baik, pemanfaatan teknologi informasi, serta kesadaran bahwa mereka adalah representasi negara yang hadir paling dekat dengan warga.
Perubahan jam kerja hanyalah langkah awal. Jika ingin menghadirkan pelayanan publik yang benar-benar berkualitas, transformasi menyeluruh harus dilakukan: mulai dari digitalisasi layanan, keterbukaan informasi, hingga penguatan budaya kerja yang berorientasi pada kepuasan masyarakat. Dengan begitu, warga tidak hanya melihat pegawai hadir lebih pagi, tetapi juga merasakan pelayanan yang cepat, transparan, dan ramah.
Pada akhirnya, pelayanan publik yang baik tidak hanya bergantung pada aturan jam kerja, melainkan pada sikap, komitmen, dan inovasi aparatur. Tanpa itu, aturan jam masuk lebih pagi hanya akan menjadi formalitas. Saatnya kecamatan menjadikan momentum ini sebagai titik awal untuk benar-benar berbenah, demi menghadirkan pelayanan yang memudahkan dan menenangkan hati masyarakat.