The Paradox of Sustainability: A Critique of the Modern World’s Approach to Sustainable Development
Gita Wirjawan
Visiting Scholar, Walter H. Shorenstein Asia-Pacific Research Center, Stanford University
Laporan ini mengkritik paradoks keberlanjutan global: negara maju (16% populasi dunia) yang secara historis menyumbang 71% emisi kumulatif CO₂ sejak Revolusi Industri, kini membatasi ruang negara berkembang (84% populasi) dalam menggunakan energi murah seperti batubara untuk pembangunan ekonomi. Fokus pada Asia Tenggara dan India menunjukkan tantangan berat: (1) elektrifikasi rata-rata hanya 1.000 kWh/kapita (vs. syarat “modernitas” 6.000 kWh), (2) kebutuhan investasi US$1,8 triliun untuk transisi energi terbarukan, dan (3) keterbatasan fiskal (rasio pajak/GDP di Indonesia 9,1% vs OECD 33%). Solusinya menekankan kolaborasi asimetris: negara maju harus menyediakan pendanaan dan teknologi (dengan likuiditas >US$100 triliun), sementara negara berkembang berfokus pada peningkatan tata kelola, pendidikan, dan kapabilitas energi bersih. Tanpa rekonsiliasi antara hak pembangunan dan tuntutan dekarbonisasi, target netral karbon 2050 mustahil tercapai.
Ketegangan Pembangunan vs. Keberlanjutan: Negara berkembang (84% populasi global) memprioritaskan akses energi murah untuk pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, sementara tuntutan transisi ke energi bersih (didorong negara maju) memberatkan secara finansial dan teknis.
Ketimpangan Sejarah: Negara maju (16% populasi) menyumbang 71% emisi kumulatif CO₂ sejak Revolusi Industri (AS + Eropa = 29.2% + 20.3%), tetapi kini membatasi ruang negara berkembang menggunakan sumber energi murah seperti batubara.
Tantangan Utama di Asia Tenggara & India
Elektrifikasi Rendah: Konsumsi listrik per kapita rata-rata ≤1.000 kWh (vs. negara maju >6.000 kWh).
Contoh: Butuh 121 tahun bagi Indonesia (dengan kapasitas tambahan 3.000 MW/tahun) untuk mencapai 6.000 kWh/kapita.
Biaya Energi Terbarukan Tinggi:
Harga listrik terbarukan perlu $0.15/kWh untuk ekonomis, tetapi daya beli masyarakat hanya sanggup $0.05–0.07/kWh.
Investasi diperlukan: $1.8 triliun untuk tambahan 900.000 MW di Asia Tenggara.
Keterbatasan Pendanaan:
* Rasio pajak terhadap GDP rendah (Indonesia 9.1%, vs. OECD 33%).
* FDI terbatas dan sedikit dialokasikan untuk energi terbarukan.
Solusi yang Diusulkan
Peran Negara Maju:
* Menyediakan pendanaan dan teknologi (karena memiliki likuiditas >$100 triliun).
* Mengakui ketidakmampuan negara berkembang capai netral karbon 2050 tanpa bantuan.
Peran Negara Berkembang:
* Meningkatkan investasi pendidikan dan tata kelola berbasis meritokrasi.
* Memperluas ruang fiskal/moneter dan menarik FDI hijau.
* Fokus pada peningkatan kapasitas energi terbarukan secara bertahap.
Kesimpulan
Pencapaian keberlanjutan global memerlukan kolaborasi asimetris: negara maju harus mendukung pendanaan dan teknologi, sementara negara berkembang berkomitmen pada transisi energi yang realistis dengan pertumbuhan ekonomi. Tanpa ini, paradoks pembangunan vs. lingkungan akan terus mengancam target iklim dunia.