Tanaman Transgenik di Indonesia: Potensi, Tantangan, dan Strategi Integrasi Berkelanjutan

YP2N_Bogor, Tanaman transgenik (GMO) telah menjadi salah satu inovasi pertanian paling signifikan secara global. Dalam kurun 18 tahun (1996–2013), luas lahan tanaman transgenik dunia melonjak 100 kali lipat—dari 1,7 juta hektar menjadi 175,2 juta hektar—dengan 54% berada di negara berkembang seperti Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Di Indonesia, meskipun teknologi ini masih dalam tahap riset dan pengembangan, produk impornya (seperti kedelai dan jagung transgenik) telah dikonsumsi sehari-hari. Tanaman transgenik menawarkan manfaat strategis, antara lain pengurangan penggunaan pestisida sintetik hingga 49,8% berkat gen Cry dari bakteri *Bacillus thuringiensis* (Bt) yang membunuh hama sasaran seperti Spodoptera litura, serta peningkatan produktivitas rata-rata 22,5% melalui ketahanan terhadap hama, herbisida, dan cekaman lingkungan seperti kekeringan. Contoh suksesnya adalah kapas Bt di India yang meningkatkan hasil panen 30–40% dan Golden Rice yang diperkaya vitamin A untuk memerangi defisiensi nutrisi.

Kendala dihadapi

Namun demikian, penerapan tanaman transgenik tidak lepas dari kontroversi. Risiko lingkungan mencakup polusi gen akibat aliran serbuk sari ke tanaman liar yang berpotensi menciptakan “supergulma”, serta dampak toksin Bt terhadap ekosistem tanah dan organisme non-target seperti kupu-kupu *Danaus plexippus* dan parasitoid Encarsia formosa yang pertumbuhannya melambat pada tanaman Bt. Resistensi hama juga mengemuka, seperti kasus Spodoptera frugiperda di Puerto Rico dan *Busseola fusca* di Afrika Selatan yang berevolusi menjadi kebal terhadap tanaman Bt. Sementara itu, keamanan pangan masih menjadi perdebatan, terutama setelah penarikan kacang Brazil transgenik akibat memicu alergi pada konsumen.

Mitigasi Kebijakan

Untuk meminimalkan risiko tersebut, integrasi dengan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) menjadi kunci. Strategi seperti penanaman refugia (20% lahan non-transgenik di sekitar GMO) terbukti memperlambat resistensi hama dengan mempertahankan populasi hama rentan. Rotasi tanaman antarmusim dan kombinasi dengan pengendalian hayati (misalnya memanfaatkan predator alami) juga meningkatkan keberlanjutan. Model Filipina yang menggabungkan 80% tanaman transgenik dan 20% non-transgenik menjadi contoh sukses penyeimbangan produktivitas dan ekologi.

Di Indonesia, tantangan utama meliputi regulasi yang masih terbatas pada kerangka UU Pangan No. 7/1996 dan PP No. 21/2005 tentang Keamanan Hayati, serta belum adanya komersialisasi skala besar. Potensi lokal—seperti keanekaragaman hayati sebagai sumber gen unggul untuk padi tahan wereng atau kedelai toleran kekeringan—perlu dimaksimalkan. Untuk itu, dibutuhkan kepastian hukum, dukungan pemerintah, evaluasi rutin, dan penyediaan benih dalam kemasan terkontrol. Edukasi publik yang transparan juga vital untuk menghindari penolakan sosial.

Tanaman transgenik berpotensi menjadi pilar ketahanan pangan Indonesia jika diintegrasikan secara bijak dengan PHT dan prinsip keberlanjutan. Dengan mengadopsi mitigasi risiko seperti refugia dan rotasi tanaman, serta memperkuat regulasi berbasis kajian ilmiah, inovasi ini dapat menjawab tantangan pangan masa depan tanpa mengorbankan lingkungan atau kesehatan masyarakat.